SWARABanten.com - Sudah lebih dari setengah bulan, sungai Ciujung kembali menghitam dan berbau menyengat. Sungai yang berhulu di Gunung Halimun Salak dan Gunung Karang itu tercemar semakin akut pada musim kemarau seperti sekarang ini. Hal itu disebabkan oleh endapan limbah yang naik ke permukaan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Lembaga Kajian Damar Leuit Banten, Misrudin menjelaskan, air sungai Ciujung sudah tidak bisa digunakan lagi untuk kebutuhan sehari-hari, baik kegiatan rumah tangga, hingga pemenuhan air untuk pertanian dan perikanan.
"Akibatnya, beberapa tanah pertanian dan tambak ikan (udang) milik warga gagal panen. Tanaman rusak, pertumbuhan abnormal karena racun yang terkandung dalam air sungai," kata eks aktivis GMNI Untirta, Sabtu (6/7/2019) pagi.
Meski demikian, ia menegaskan, pemerintah harus sungguh-sungguh dalam menegakkan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Terlebih Pemkab Serang sudah mengakui bahwa ada pemberian izin perusahaan untuk membuang limbah industri ke Sungai Ciujung. Hal ini sangat disayangkan, terlebih kita tak mengetahui bagaimana instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dari perusahaan-perusahaan itu," tegasnya.
Terpisah, menurut Angga Hermanda Kepala Departemen Data dan Informasi BPP Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI), pencemaran sungai Ciujung yang berlangsung rutin secara menahun tak bisa ditolerir.
"Contohnya pada tahun 2015, akibat pencemaran limbah sungai Ciujung, izin dari 15 perusahaan dievaluasi. Kejadian ini harus ditangani secara serius oleh pemerintah daerah, agar petani atau petambak tak selalu yang dijadikan sebagai korban," terangnya.
Selain rencana pengerukan sungai Ciujung pada 2020 oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian (BBWSC), kata dia, sudah sepatutnya Perda Provinsi Banten tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani segera disahkan.
"Perda ini nantinya akan menjamin hak petani dan petambak di Banten untuk mendapatkan air bersih dan lingkungan yang sehat," ungkapnya. (be/red)
Menanggapi hal tersebut, Ketua Lembaga Kajian Damar Leuit Banten, Misrudin menjelaskan, air sungai Ciujung sudah tidak bisa digunakan lagi untuk kebutuhan sehari-hari, baik kegiatan rumah tangga, hingga pemenuhan air untuk pertanian dan perikanan.
"Akibatnya, beberapa tanah pertanian dan tambak ikan (udang) milik warga gagal panen. Tanaman rusak, pertumbuhan abnormal karena racun yang terkandung dalam air sungai," kata eks aktivis GMNI Untirta, Sabtu (6/7/2019) pagi.
Meski demikian, ia menegaskan, pemerintah harus sungguh-sungguh dalam menegakkan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Terlebih Pemkab Serang sudah mengakui bahwa ada pemberian izin perusahaan untuk membuang limbah industri ke Sungai Ciujung. Hal ini sangat disayangkan, terlebih kita tak mengetahui bagaimana instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dari perusahaan-perusahaan itu," tegasnya.
Terpisah, menurut Angga Hermanda Kepala Departemen Data dan Informasi BPP Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI), pencemaran sungai Ciujung yang berlangsung rutin secara menahun tak bisa ditolerir.
"Contohnya pada tahun 2015, akibat pencemaran limbah sungai Ciujung, izin dari 15 perusahaan dievaluasi. Kejadian ini harus ditangani secara serius oleh pemerintah daerah, agar petani atau petambak tak selalu yang dijadikan sebagai korban," terangnya.
Selain rencana pengerukan sungai Ciujung pada 2020 oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian (BBWSC), kata dia, sudah sepatutnya Perda Provinsi Banten tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani segera disahkan.
"Perda ini nantinya akan menjamin hak petani dan petambak di Banten untuk mendapatkan air bersih dan lingkungan yang sehat," ungkapnya. (be/red)