![]() |
Imbauan Polsek Tigaraksa menyoal maraknya praktek menyimpang debt collector (foto: Istimewa) |
SwaraBanten.com – Kehadiran debt collector atau
lebih dikenal dengan mata elang (matel), diakui atau tidak banyak meresahkan
masyarakat, terutama mereka yang mengalami kemacetan dalam tunggakan kepada
pihak leasing. Tak jarang, kelompok matel ini berlagak tak jauh dari sikap premanisme.
Mulai ancaman psikis hingga physik.
Demikian diungkapkan Direktur Lembaga Perlindungan Konsumen (LPKSM)
Swadaya Masyarakat Banten, Khoirul Umam, menyikapi maraknya praktek matel di
wilayah Banten, Senin (11/11/2019).
Menurut Umam, maraknya praktek ini sebuah kegagalan aparat hukum
dalam menegakkan Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain
itu, pemerintah lokal juga tidak serius dalam mengayomi warganya, dalam
menghadapi sengketa konsumen dengan pihak lembaga pembiayaan non bank atau
dikenal masyarakat dengan perusahaan leasing.
"Perampasan atau ancaman oleh kelompok matel ini, jelas
sangat tidak menghargai sisi kemanusiaan. Pemerintah dari pusat hingga daerah
tidak boleh diam melihat persoalan ini,” tegas Umam, yang kini menggawangi
Himpunan Pengusaha KAHMI (HIPKA Banten).
Sebetulnya, lanjut Umam, menghadapi sengketa macetnya
debitur ada amanat UU No 8 Tahun 1999 tentang konsumen, diantaranya di daerah
dibentuk BPSK (badan penyelesaian sengketa konsumen). Sayangnya, sudah hampir
tiga tahun BPSK yang ada di Banten, seperti mati suri.
"Sudah lama BPSK yang ada seperti dibiarkan mati,” kata Umam
Matinya lembaga penyelesaian arbitrase ini, kembali
menumbuhsuburkan kelompok matel untuk menekan konsumen yang lambat bayar, dan
pemerintah pun diam seolah tak peduli.
"Intinya bila pemerintah serius, sebetulnya kelompok matel
ini bisa dihilangkan. Soal sengketa konsumen bisa dibawa ke BPSK,” ujar Umam (red)