SWARABANTEN - Komisi IV DPRD Banten menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan memanggil pihak PT Samudra Banten Jaya (SBJ) untuk membahas kegiatan pertambangan emas di wilayah selatan Kabupaten Lebak. Kamis, 12 Desember 2024.
Selain PT SBJ, Komisi IV DPRD Banten juga mengundang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Banten.
Pemanggilan ini dilakukan oleh Komisi IV DPRD Banten lantaran aktivitas pertambangan emas oleh PT SBJ, diduga menyebabkan kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana longsor dan banjir di wilayah selatan Kabupaten Lebak.
Diketahui, bencana longsor dan banjir yang diduga akibat dari aktivitas pertambangan terjadi di wilayah Kecamatan Bayah, dan Kecamatan Cibeber.
Berdasarkan informasi yang didapat saat RDP digelar, PT SBJ diketahui memiliki konsesi tambang seluas 1.330 hektare dengan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan pada 2021.
Namun, perusahaan ini diketahui baru menyumbang Rp65 juta kepada negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta dana Corporate Social Responsibility (CSR) bagi masyarakat sekitar.
Pasca memimpin rapat, Anggota Komisi IV DPRD Banten, Iksan Sidik mengatakan, warga sekitar telah menyampaikan keluhan mereka kepada pihaknya.
Mereka menganggap, aktivitas tambang PT SBJ sebagai salah satu penyebab kerusakan lingkungan.
Sementara Humas PT SBJ menyatakan bahwa longsor yang terjadi bukan diakibatkan dari aktivitas tambang yang dilakukan. Karena jauh dari lokasi eksploitasi lahan.
Merespons hal tersebut, Iksan menyatakan bahwa Komisi IV DPRD Banten memastikan sidak akan dilakukan segera.
"Kita agendakan (sidak) tidak akan nyebrang ke tahun depan lah. Masih tahun ini dan bulan ini," katanya.
"Tadi memang ada yang menyampaikan sampai saat ini ada yang menyatakan ada aktivitas (pertambangan). Tetapi dari pihak perusahaan katanya di titik-titik eksplorasi sudah tidak ada kegiatan. Makanya kita ingin pastikan," tambahnya.
Lebih lanjut Iksan membeberkan, dalam rapat terungkap bahwa ada dua metode yang digunakan, yaitu underground dan open pit.
Menurut Iksan, metode open pit ini sangat merusak lingkungan karena melibatkan penggalian besar dengan ekskavator untuk menemukan titik emas.
Sementara itu, ketika limbah hanya ditumpuk di lokasi tanpa pengelolaan yang baik, tanah yang tandus dan sudah terurai ini sangat mudah terbawa air saat hujan.
"Dampaknya ini akan bisa mengakibatkan risiko longsor dan kerusakan lingkungan semakin besar. Ini harusnya bisa diantisipasi oleh perusahaan," terangnya.
"Jangan sampai metode open pit digunakan hanya karena biaya (penambangan) murah, tetapi dampak negatifnya juga harus dipertimbangkan," imbuh Iksan menegaskan.
Sementara itu, Humas PT Samudra Banten Jaya (SBJ), Tb Endin membantah, bencana longsor yang terjadi di Kampung Lebak Mangga, Desa Cidikit, Kecamatan Bayah, bukanlah dampak dari aktivitas pertambangan perusahaan.
Bahkan saat melakukan sidak ke lokasi bencana, kata Endin, masyarakat juga telah membuat pernyataan yang dibubuhi tanda tangan. Mereka menyatakan bahwa dampak itu bukan disebabkan perusahaannya.
"Diperkirakan lokasi longsor dari lokasi pertambangan itu berjarak 1,5 kilometer. Kalau dampak dari curah hujan itu (longsor) bisa terjadi," katanya.
Endin membeberkan, berdasarkan informasi yang dihimpun dari Ketua RW 07, Munajat, menyatakan bahwa 2 tahun sebelumnya kondisi tanah sudah terjadi retak-retak.
"Karena curah hujannya tinggi, sehingga terjadilah longsor, dan menyudutkan kepada PT Sambudra Banten Jaya (SBJ)," ujarnya.
"Kalau longsor, itu kan gak terjadi di Kampung Lebak Manggah saja, tetapi di daerah lain pun terjadi," imbuhnya.
Disinggung soal dugaan aktivitas pertambangan di tengah segel KLHK, Endin menyatakan bahwa sekarang ini kegiatan sudah dihentikan, dan tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh PT SBJ sejak tahun 2021.
Kemudian, berbicara soal perkara hukum yang saat ini dilimpahkan ke Kejati Banten dari GAKKUM KLHK. Dirinya belum bisa menjawab, karena ia menyatakan bukan kapasitasnya menjelaskan hal tersebut.
Namun demikian, Endin menyatakan, ketika ada aktivitas pertambangan yang dilakukan di lahan konsesi PT SBJ, maka itu adalah perbuatan oknum, dan dirinya mengaku tidak mengetahui soal adanya aktivitas penambangan itu.
"Iya (jika ada aktivitas pertambangan itu bukan dilakukan oleh PT SBJ), mungkin itu oknum ya. Saya tidak tahu kalau ada aktivitas pertambangan. Kalau kami (PT SBJ) tidak ada aktivitas," ucapnya.
"Di sana (di lokasi pertambangan PT SBJ) juga bercampur dengan para penambang PETI," imbuhnya.
Di sisi lain, Ketua Gerakan Masyarakat Lebak Selatan (GMLS), Eka Kuswara mengungkapkan, dirinya masih kecewa atas hasil RDP dengan Komisi IV.
Sebab menurutnya, aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT SBJ bersama dengan perusahaan lain di bawahnya, bukan hanya sekedar metode open pit, tetapi perusakan hutan.
"Saya warga Cikotok. Bayangkan 200 hektare, apakah wilayah Kecamatan Cibeber tidak akan hancur?" katanya.
"Baru segitu aja kampung udah pada longsor. Itu bukan open pit, itu perusakan hutan," imbuhnya.
Lebih lanjut, Eka Kuswara juga menyinggung soal keberadaan tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja bukan menggunakan paspor untuk kerja, melainkan diduga menggunakan paspor wisata.
"Ketika lahan seluas 200 hektare rusak dan gundul. Bencana akan terjadi. longsor dan banjir," ungkapnya.
"Siapa yang terkena dampak? Kami (warga setempat). Yang diuntungkan siapa? Orang-orang Cina. Mereka datang ke sini di pasport-nya bukan bekerja, tetapi tourist. Tolong di cek!" tambahnya.
Dalam rapat dengar pendapat, peserta lain meminta PT Samudra Banten Jaya (SBJ) ditutup jika terbukti melanggar aturan dan dampak kerusakannya lebih besar daripada manfaatnya. **