Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

'Beternak' Jabatan dan APBD/APBN

Jumat, 05 November 2021 | November 05, 2021 WIB Last Updated 2021-11-05T00:38:11Z

Penulis: H. A Jazuli
Ketua Yayasan Deir An Nahyan Messina (YDAM), Serang, Banten

Dari sekian ratus kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota), secara umum terbagi menjadi kasus: GRATIFIKASI (Pemberian Uang atau Barang kepada Pejabat Negara) untuk kepentingan Promosi dan Mutasi Jabatan, karena Pengurusan Perizinan suatu Usaha atau "Uang Ucapan Terima Kasih"; dan kasus SUAP MENYUAP, saat proses Tender Proyek (Setoran Proyek) --- karena si Pejabat "menjanjikan sesuatu":kepada pihak Pengusaha Penyedia Barang dan Jasa.
  
Praktik Gratifikasi dan Suap Menyuap itu, seharusnya tidak terjadi mengingat kepada para Pejabat itu telah diberikan sejumlah pendapatan dan fasilitas penunjang jabatan yang cukup. Mulai Gaji Pokok,  Tunjangan-tunjangan (Jabatan, Keluarga, Komunikasi, dll), Biaya Operasional (BO), Biaya Penunjang Operasional (BPO), Upah Pungut dari PAD, Biaya Pidato-pidato Pengajuan Perda, Biaya Pidato-pidato Peresmian suatu Kegiatan atau Proyek dan Pendapatan lainnya yangg Sah, sejumlah Kendaraan Operasional, Rumah Jabatan (Rumah Dinas), Ajudan/ADC, Pengawal Pribadi, serta Staf Khusus. 

Semua Pendapatan dan Fasilitas itu, pasti sudah cukup bagi Kepala Daerah yang benar-benar mengabdi kepada Rakyat, Masyarakat, Daerah, Bangsa dan Negara. Namun pasti tidak cukup bagi Kepala Daerah yg niatnya "Berbisnis Jabatan".

Praktik yang lazim terjadi di daerah-daerah adalah Pihak Pemenang Pilkada "menguangkan" atas proses Promosi dan Mutasi Pegawai --- terutama pada jabatan yang "basah" (Kesehatan, PU, Pendidikan, Bapenda).

Praktik lainnya yang tidak terpuji dari sebagian besar oknum Pemenang Pilkada adalah "menguasai" Anggaran APBN (DAU/DAK) dan APBD. Modusnya dengan cara memiliki Perusahaan sendiri atau "mengkoordinasikan" Perusahaan-perusahaan tertentu, untuk mengikuti Pelelangan Proyek.

Secara sekilas terlihat sah dan benar. Melalui LPSE (Lembaga Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Secara Elektronik) dan ULP (Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah) --- namun praktik yg sesungguhnya adalah "Lelang Atur", "Lelang Arisan" atau "Lelang Kukut". Dan hampir tidak menyisakan peluang bagi pihak yang tidak termasuk kelompok atau kroni mereka.

Atau bisa juga, Oknum Pihak Pemenang Pilkada tidak mengikuti lelang secara langsung namun oknum-oknum itu menerima "setoran" sekira 5 - 10% dari nilai proyek yang ada. Atau setara dengan 5 - 10% dari Nilai Biaya Belanja Publik APBD suatu Daerah.

Ilustrasinya sebagai berikut, Dari APBD sebesar Rp 2,3 Triliun,, misalnya,  akan ada Anggaran Biaya Belanja Publik sekitar Rp 800 Milyar --- sisanya, sebesar Rp 1,5 Triliun akan digunakan utk Anggaran Belanja Rutin (Gaji, Honor, Perjalanan Dinas, Dana Hibah, Penyertaan Modal pada BUMD, dan lainnya)

Artinya, para Pemenang Pilkada itu akan memperoleh "Uang Setoran Proyek" minimum sebesar Rp 40 Miliar sampai Rp 80 Miliar per Tahun Anggaran.

"Pendapatan" Tahun Pertama hingga Tahun Keempat (sekitar Rp 160 Miliar hingga Rp 320 Miliar) akan digunakan untuk kepentingan dirinya, keluarganya dan kelompoknya.

Adapun Pendapatan Tahun Kelima (Rp 40 Miliar - Rp 80 Miliar) akan digunakan sebagai Biaya Pilkada berikutnya. Artinya Biaya Pilkada mereka (Keluarga mereka) Periode Kedua dan seterusnya murni berasal dari "Beternak" APBN/APBD. Alias TIDAK (Keluar) MODAL.

Padahal apabila tidak terjadi "Uang Setoran Proyek" itu maka uang sebesar Rp 40 Miliar - Rp 80 Miliar dapat digunakan untuk kepentingan Masyarakat : perbaikan Jalan, pembangunan Rumah Kumuh, Modal Usaha Pedagang Kecil, dan lainnya

Praktik Monopoli Proyek dan Setoran Proyek, jelas tidak adil bagi para Pengusaha Penyedia Barang dan Jasa, dan bagi para Calon Kepala Daerah yang Bukan Petahana (Contendor).

Saya tidak menentang "Politik Dinasti" sepanjang praktik Gratifikasi, Monopoli Proyek dan Setoran Proyek tidak dilakukan oleh para Oknum Pemenang Pilkada (oleh Keluarga Besar Pemenang Pilkada). Ya harus Jujur dan Adil.

Berapa "Pendapatan tidak Sah" para Oknum Pejabat itu? Ya hitung saja sendiri. Semakin besar nilai APBD-nya makan semakin besar pula (potensi) praktik Monopoli Proyek, Gratifikasi dan Setoran Proyek itu.

Perilaku tidak terpuji sebagian  besar para Pemenang Pilkada itu pasti, salah satunya, berawal dari Biaya Pilkada yang SANGAT MAHAL. Dan tentu juga karena Niat Tidak Baik dari yang bersangkutan. 

Solusinya, Luruskan Niat Baik saat mencalonkan diri dan saat menjadi pemenang Pilkada. Dan STOP praktik Politik Uang dalam Pilkada (tentu termasuk dalam Pilkades, Pileg dan Pilpres). Insya Allah para Pejabatnya akan (relatif) bersih.

Apakah Rakyat Banten sudah siap mewujudkan Banten yang Bersih? Hampir mustahil terwujud Banten yang Bersih (dari KKN) apabila praktik Politik Uang masih merajalela dalam setiap Pemilihan Pemimpin/Pejabat. *