Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Antisipasi Gejolak Sosial, APRI Lebak Minta Kepastian WPR

Selasa, 11 Agustus 2020 | Agustus 11, 2020 WIB Last Updated 2020-08-11T00:54:01Z
SwaraBanten.com - Kelompok penambang yang ada di wilayah Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak mengatakan, mayoritas masyarakat Cibeber semenjak jaman Belanda mata pencahariannya bergantung dari pertambangan emas PT Antam Cikotok Tbk, karena lahan tanah yang ada mayoritas berupa pegunungan dan hanya sedikit lahan yang dapat dipergunakan untuk lahan pertanian.

Saat ini, mereka mengaku pendapatannya merosot tajam, karena dampak larangan dan penutupan pertambangan tradisional atau yang disebut Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI)

Karena itu, kelompok pengusaha tambang berharap agar pemerintah bisa memberikan solusi dengan cara menyediakan dan memberikan kemudahan perijinan yang dapat ditempuh oleh masyarakat, seperti kepastian Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

Kepala Desa Cibeber Jalu Harto kepada wartawan mengatakan, masyarakat bersama pemerintah desa telah mengajukan penunjukan WPR kepada pemerintah Provinsi Banten, agar secepatnya dapat menentukan area WPR

“Sebetulnya masyarakat bukan tidak sadar hukum atau tidak mau taat terhadap aturan, karena masyarakat juga tentunya ingin melakukan kegiatan usaha dengan nyaman dan aman sesuai dengan peraturan yang ada, tapi pemerintah yang lambat merespon aspirasi dan harapan masyarakat untuk menentukan WPR," ujar Jalu Harto.

Menurutnya, sesuai Pasal 124 UU Nomor 4 Tahun 2009 yang kemudian menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020, bahwa apabila disebuah wilayah telah dilakukan penambangan selama 15 tahun berturut-turut, maka pemerintah wajib menetapkan wilayah tersebut menjadi WPR. Sementara untuk wilayah Cikotok ini belum ada.

“Sejak jaman Belanda rakyat sudah melakukan pertambangan di wilayah Cikotok, Cibeber. Jadi sudah sepantasnya wilayah Cibeber ini secepatnya di tetapkan menjadi kawasan WPR. Kami pun sudah bertemu Wabup dan juga ESDM Privinsi mengajukan WPR, tapi sampai saat ini belum juga ada kepastian," jelas Jalu Harto.

Sementara pegiat Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Lebak, Andri kepada wartawan berharap, pemerintah agar dapat memperhatikan nasib masyarakat Cibeber yang saat ini kehilangan mata pencahariannya.

"Pertambangan bagi masyarakat Cibeber adalah merupakan mata pencaharian yang sudah terjadi turun menurun sejak nenek moyang. Warga di sini banyak yang menggantungan hidupnya dari tambang dan tidak memiliki kegiatan usaha yang lain. Oleh sebab itu, dengan ditutupnya pertambangan, mereka sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,” ungkap Andri.
Dalam hal ini, pihaknya khawatir jika tidak segera diberi WPR, akan menimbulkan gejolak sosial dan meningkatnya angka kriminalitas di wilayah Cibeber.
“Kami akan terus memperjuangkan kepentingan masyarakat ini, dan apabila permohonan dan pengajuan kami ini terus tidak mendapat tanggapan pemerintah, terpaksa kami akan melakukan aksi," katanya.

Terpisah, pegiat lingkungan di Baksel, Wijaya D Sutisna kepada wartawan justru berpendapat sebaliknya, mengapa mereka para penambang liar beralasan praktik mereka dari jaman belanda, padahal apapun alasannya giat PETI mereka itu tdk benar, 

"Ya silahkan saja beralasan, karena kita tau bahwa mereka berpraktek nambang jelas ilegal karena akan berdampak bagi masa depan lingkungan di sana, misalnya rawan longsor dan polusi limbah kimia. Jadi kalau mengklaim turun temurun, itu justru yang melakukannya dulu hanya segelintir kaum urban yang notabene bangsa kolonial. Jadi tolong jangan cari pembenaran," jelas Sutisna.

Kata dia, segelintir warga Cibeber pada menambang justru dimulai saat PT Antam Tbk yang all out, karena secara ekonomis area tambang di sana sudah tidak menguntungkan dan juga pertimbangan lingkungan. Kemudian disusul dengan kebijakan pasca tambang,

"Jadi masyarakat yang turun jadi penambang itu dimulau pasca PT Antam awal Tahun 2000 an hengkang,  di momen itulah masyarkat mulai pada turun ke hutan untuk nambang secara ilegal tanpa jajian amdal. Jadi bohong besar jika mereka mengaku nenek moyangnya sejak jaman Belanda sudah pada bambang di sana, itu hanya alasan pembebaran," papar Sutisna. (red)