SWARABANTEN - Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mendukung perkembangan komoditas rami yang menghasilkan serat kain dan benang sebagai alternatif bahan baku industri tekstil.
“Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) berupaya untuk melindungi industri tekstil dan turunannya seperti konveksi, di mana tekstil kita sulit bersaing dengan China yang melakukan produksi massal," kata Teten Masduki.
"Maka, produktivitas rami yang sangat bagus, berpotensi menjadi fondasi ekonomi kita khususnya di industri tekstil dalam negeri,” imbuhnya.
Teten mengungkapkan hal tersebut, saat kunjungan kerjanya ke CV Ramindo Berkah Persada Sejahtera (Rabersa) di Dusun Gandok, Kalikajar, Wonosobo, Jawa Tengah, belum lama ini.
Produktivitas rami dari Indonesia memiliki kualitas yang sangat bagus dan berpotensi menjadi fondasi bagi industri tekstil nasional.
Menteri Teten melihat, berbagai hal yang dilakukan CV Rabersa dalam mengolah tanaman rami menjadi serat alam meski dalam tahap yang sederhana, sudah dilakukan melalui proses setara industri. Kualitas produk yang dihasilkan pun tak kalah bagus dengan produk pakaian yang ada di pasaran.
“Industri ini ekosistemnya perlu dimodernisasi. Jika nanti rami dijadikan sumber serat nasional, maka serat rami menjadi bahan baku yang dihasilkan dari hasil bumi Indonesia yang melibatkan petani kecil di ladang sehingga kemudian bisa menjadi kekuatan ekonomi,” ujarnya.
Ia menegaskan, di sektor hilir, industri tekstil bisa dikatakan sudah lebih baik dibandingkan sektor hulunya. Dimana bahan baku tekstil belum tersedia banyak di Indonesia, sehingga masih didukung oleh bahan baku impor.
“Sirkular ekonomi dari serat rami juga sangat besar. Daunnya bisa untuk pakan ternak kambing atau domba, biomassa ternak dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik, bulu dombanya pun dipakai menjadi benang wol artinya ini zero waste. Benefit sirkular ekonomi tak kemana-mana dinikmati oleh petani lagi,” ucap MenKopUKM.
Saat ini, Indonesia juga sedang menyiapkan diri sebagai modest fashion lewat berbagai event kelas dunia. Jika tidak punya kekhasan, maka akan sangat sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara lain di industri modest fashion dunia.
Untuk itu, dalam mendukung industri tekstil melalui perkembangan serat rami ini, KemenKopUKM bersama Pemerintah Daerah Wonosobo berencana membangun Rumah Produksi Bersama (RPB) serat rami untuk mendukung industri tekstil.
“Setidaknya dibutuhkan sekitar 5.000 meter persegi yang dikelola berbasis koperasi multipihak, agar memudahkan kita mencari investor dengan fokus pada produk custom dan ketersediaan bahan baku,” ucap Menteri Teten.
Tercatat necara perdagangan Januari 2024, komoditas Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia (kode HS 50-63) mengalami surplus (210 juta dolar AS). Meskipun secara agregat TPT mengalami surplus, komoditas sutra (HS 50), wol (HS 51), kapas (HS 52), serat tekstil nabati (HS 53) masih mengalami defisit.
Khusus TPT berbahan serat alam, Indonesia mengimpor serat alam sekitar 3 kali lipat nilai ekspornya (rata-rata impor 2,448 miliar dolar AS sedangkan rata-rata ekspor 0,841 miliar dolar AS.
Dalam kesempatan tersebut, turut hadir Wakil Bupati Kabupaten Wonosobo Muhammad Albar yang menyambut kedatangan MenKopUKM.
“Alhamdulillah dengan kehadiran MenKopUKM, saya yakin potensi rami akan semakin dikenal di level nasional serta diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian baik di Wonosobo maupun di tingkat nasional,” katanya.
Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) CV Rabersa Wibowo Akhmad menjelaskan, sejak berdiri pada 1999, pihaknya menghasilkan produk setengah jadi berupa material mentah serat rami inagrass. Produk CV Rabersa saat ini memasok dua perusahaan ekspor PT Retota, Magelang dan PT Gisapda, Pekalongan.
Selanjutnya dua perusahaan ini mengolah serat rami ini sebagai home decoration yang sebanyak 95 persennya untuk pasar ekspor khususnya AS. “Produk CV Rabersa saat ini berupa serat inagrass rami yang diminati oleh beberapa negara lain. Sudah ada daftar permintaan, namun sampai sekarang belum bisa dipenuhi karena keterbatasan mesin produksi, modal, dan lahan,” ucapnya.
Beberapa negara sebagai pasar potensial di antaranya China dengan permintaan 40 ton per bulan (1 kontainer 40 ft), Korea Selatan sebanyak 1 ton per bulan (perusahaan di Indonesia), dan Jepang 400 ton per bulan (PT Tosca Corp). Negara-negara tersebut mengakui produk rami Indonesia lebih baik dari produk dari Vietnam dan Thailand.
“Namun untuk dapat menyuplai permintaan tersebut harus disiapkan lahan minimal 200 hektare dengan pola panen rami setiap 60 hari, akan tetapi saat ini lahan tersedia baru 25 hektare,” katanya, dilansir dari laman resemi Kemenkop.
Ia berharap, kerja sama dengan KemenKopUKM ke depan diteruskan dan berkelanjutan. Sebab ia memiliki mimpi besar tak hanya membangun industri tapi juga mengedukasi serat alami. “Tak hanya wisata, tetapi melihat bagaimana tanaman menjadi baju, hewan sutra atau domba menjadi kain dan memiliki nilai. Mewujudkan edukasi serat alam Indonesia dengan dukungan semua pihak terutama KemenKopUKM,” ucapnya.
KemenKopUKM bersama CV Rabersa dan KaIND (Kain Indonesia) Sustainable Fashion Besutan (Melie Indarto, penggiat sutera Pasuruan), sedang menyusun kajian kelayakan dan perhitungan kebutuhan pengembangan sentra industri serat alami dengan pendekatan Integrated Farming yang akan dioperasionalkan oleh koperasi dan UKM menjadi suatu ekosistem bisnis untuk serat alami dari berbagai bahan baku serat seperti Rami, Nanas, Wol Bulu Domba, dan Sutera Eri.
Untuk keterjaminan pasokan bahan baku, KemenKopUKM telah memfasilitasi koordinasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang sebagai sentra penghasil nanas madu. Ke depan diharapkan kabupaten ini menjadi hub logistik pasokan bahan baku daun nanas.
Dalam kesempatan yang sama, MenKopUKM Teten Masduki juga berkunjung ke peternakan domba yang merupakan bagian sirkular ekonomi industri penghasil bahan baku tekstil melalui pendekatan Integrated Farming.(ts)