Dittipidter Bareskrim Polri berhasil ungkap praktik pengoplosan gas LPG bersubsidi di dua wilayah ibu kota (Dok Humas Polri)
SWARABANTEN - Praktik pengoplosan gas LPG bersubsidi di dua wilayah ibu kota, yakni Jakarta Timur dan Jakarta Utara, berhasil dibongkar Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri.
Dari penggerebekan ini, polisi menangkap 10 orang tersangka dan mengungkap kerugian negara yang mencapai Rp 16,8 miliar.
Pengungkapan ini berawal dari laporan masyarakat mengenai aktivitas mencurigakan pemindahan gas LPG 3 kg bersubsidi ke tabung gas nonsubsidi berukuran lebih besar, seperti 12 kg dan 50 kg.
“Barang bersubsidi harus disalurkan tepat sasaran. Aksi ini jelas merugikan negara dan masyarakat yang berhak menerima subsidi,” tegas Brigjen Pol Nunung Syaifuddin, Dirtipidter Bareskrim Polri dalam konferensi pers di gedung Bareskrim, Kamis (22/5/2025).
Di Jakarta Utara, polisi meringkus lima pelaku berinisial KF, MR, W, P, dan AR di kawasan Papanggo, Tanjung Priok, Sabtu (17/5). Mereka kedapatan menyuntik LPG subsidi 3 kg ke tabung 12 kg, lalu menjualnya seolah-olah sebagai LPG nonsubsidi.
Bareskrim menyebut para pelaku dikendalikan oleh seorang bernama RT, yang kini masih dalam pengejaran.
Sementara itu, di Jakarta Timur, lima tersangka lain yakni BS, HP, JT, BK, dan WS ditangkap di sebuah gudang di Jalan Pulau Harapan IX, Cilangkap. Mereka membeli LPG subsidi dari warung-warung dan pangkalan, lalu mengoplosnya ke berbagai ukuran tabung — dari 5,5 kg hingga 50 kg — untuk dijual di sejumlah wilayah Jakarta.
Tersangka BS disebut sebagai otak dan pemodal utama jaringan Jaktim. Ia mengatur seluruh proses, mulai dari pembelian LPG, pembayaran gaji, hingga operasional gudang.
Menurut Brigjen Nunung, praktik pengoplosan di Jakarta Utara telah berlangsung selama 1,5 tahun, dan di Jakarta Timur selama 1 tahun.
“Kerugian negara akibat kegiatan ilegal ini diperkirakan mencapai Rp 2,34 miliar di Jakarta Utara dan Rp 14,46 miliar di Jakarta Timur. Total kerugian sebesar Rp 16,8 miliar,” paparnya.
Para tersangka terancam hukuman penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp 60 miliar. Mereka dijerat dengan Pasal 40 angka 9 UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan Pasal 55 UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Pasal 55 KUHP.
“Penindakan seperti ini penting untuk memberi efek jera dan melindungi hak masyarakat terhadap subsidi negara,” tutup Nunung.**